NUSADUA, KanalMuria – Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, dalam tiga tahun yang serba ganas, globalisasi mengalirkan pandemi sebagai pengalaman bersama, duka cita dari kematian yang sunyi, dan ruang-ruang isolasi. Tapi di saat yang sama, efek pandemi juga membangkitkan militansi akal budi: sains dan kerja keras semua bangsa untuk lolos menuju normal baru yang lebih berpengharapan.
Fenomena ini disampaikan Menag Yaqut saat menjadi pembicara dalam gelaran forum para pemimpin agama dunia atau Forum Religion Twenty (R20) dalam rangkaian kegiatan G20 di Nusa Dua, Bali.
“Pandemi mengajarkan kita di dalam segala perbedaan, di atas demarkasi kelas sosial dan kekayaan, serta hirarki kesetaraan, baik yang terjadi antar negara dan antar manusia, sebuah common ground bagi kelanjutan kemanusiaan ternyata masih dimungkinkan,” kata Menag Yaqut, seperti tertuang di laman kemenag.go.id, Rabu (2/11) .
“Di sini kita menemukan, ternyata ada yang lebih solid dan krusial dari sekadar ekonomi, politik, atau batas dan teritori,” sambung Gus Men, panggilan akrab Menag Yaqut.
Meminjam perumpaan seorang pemikir filsafat, lanjut Gusmen, etika zaman pandemic ini dapat dirumuskan dalam satu kalimat pendek yang dipetik dari metaphor kristiniatas: Noli Me Tangere! yang artinya: jangan pegang aku, (jangan pegang aku apabila engkau mengasihi aku).
Di sinilah jarak dipertahankan justru dalam rangka memelihara keakraban sosial dan solidaritas. “Pandemi memaksa orang untuk mengambil tindakan etis di mana keselamatan diri hanya bisa dipertahankan melalui keselamatan bersama orang lain. Dengan itu, wabah yang mengerikan menghadirkan kegentaran tapi sekaligus menumbuhkan atmosfir etik mondial,” tutur Menag.
Menurut Gus Men, globalisasi-pandemic mengajarkan betapa berharga dan pentingnya sains dan ilmu kedokteran, bersama-sama dengan kekuatan solidaritas dan kesukarelaan antar manusia. “Sains menuntun kita keluar dari bencana, namun etika, solidaritas dan kemanusiaan yang memelihara dan memperkuat pikiran dan kesehatan jiwa manusia selama dalam bencana,” ujarnya.
Dengan kata lain, jelas Menag, bagi orang beriman, pandemi ini menghadirkan kengerian yang mencengangkan (tremendum et fascinosum). Ia menakutkan, namun di saat yang sama juga menunjukkan sisi-sisi kemuliaan manusia yang menandakan adanya ‘cakrawala kebaikan” yang transenden.
“Di titik inilah kita meyakini, bahwa sosialitas manusia akan lebih merekah dan tumbuh apabila ia diatur oleh keserasian antara akal budi dan nilai-nilai yang baik: solidaritas, kebersamaan, dan kemanusiaan yang universal,” tegas Menag
Dalam paradoks globalisasi inilah masyarakat Indonesia didorong juga untuk berefleksi melihat ke dalam, seluruh kisah globalisasi ini juga adalah bagian dari pengalaman. Indonesia jelas bukan bangsa yang memiliki kekuatan hebat untuk berpacu dalam kompetisi teknologi dan sains, secara ekonomi Indonesia juga tidak memiliki kemakmuran materiil sebagaimana sebagian besar negara-negara sahabat anggota G20 lainnya.
Namun demikian, dalam menghadapi bahaya dan masalah, Indonesia terbukti sama tangguhnya dengan bangsa-bangsa maju lainnya. “Pada hari ini, kehadiran kita bersama di forum ini, telah menandaskan takdir bersama kita, bahwa kita semua lolos bersama-sama dari lubang jarum globalisasi-pandemi,” tandas Menag. (iby/de)