
Pati – Sejumlah buruh tani dari Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, menggelar aksi berkemah di depan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Pati. Mereka menuntut agar tanah yang diklaim sebagai warisan nenek moyang mereka dan kini dikuasai oleh sebuah perusahaan segera dikembalikan.
Pantauan di lokasi pada pukul 16.00 WIB menunjukkan massa mendirikan tenda berbahan terpal dan bambu di depan kantor ATR/BPN Pati. Mayoritas peserta aksi adalah perempuan. Di luar tenda, puluhan buruh tani menggelar teatrikal yang menggambarkan dugaan perampasan tanah petani, serta pertunjukan barongan. Aksi kemudian dilanjutkan dengan berselawat bersama.
Salah satu buruh tani, Sarmin, menegaskan bahwa para petani akan terus berkemah di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan.
“Kami akan bertahan sampai ada keputusan dari BPN bahwa permohonan hak guna pakai PT LPI dibatalkan dan ditolak,” kata Sarmin, Senin (10/2/2025).
Menurut Sarmin, lahan seluas 7,3 hektare di desa mereka yang kini dikelola oleh perusahaan berbasis industri gula seharusnya menjadi hak petani setempat.
“Petani ingin hak guna pakai PT LPI ditolak. Yang lebih berhak atas tanah ini adalah petani Pundenrejo. Permohonan ini harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tanah tersebut telah dikelola warga secara turun-temurun, tetapi secara bertahap mulai dikuasai oleh pabrik gula.
“Tanah warisan nenek moyang ini mengalami ketimpangan. Kami sudah menggarapnya selama puluhan tahun, hingga membentuk paguyuban gerakan masyarakat petani Pundenrejo untuk memperjuangkan hak kami,” ungkapnya.
“Kami butuh lahan pangan. Namun, pada tahun 2020, tanah ini kembali dirampas oleh PT LPI yang kemudian menanaminya dengan tebu, meskipun izin yang mereka miliki adalah hak guna bangunan (HGB),” tambahnya.
Hingga saat ini, Kepala ATR/BPN Kabupaten Pati, Jaka Pramana, belum memberikan tanggapan. Upaya konfirmasi oleh wartawan juga terhalang oleh petugas keamanan kantor.
Sengketa tanah ini sebelumnya telah dibawa ke DPRD Pati pada Senin (20/1/2025). Salah satu warga, Suryanto, menjelaskan bahwa lahan seluas 7,3 hektare itu telah digarap petani sejak 1950.
“Sejak 1950, orang tua kami sudah menggarap tanah ini. Tahun 1960, warga mulai menanaminya, dan kami hidup dari bertani di sana,” kata Suryanto dalam pertemuan dengan Komisi B DPRD Pati.
Ia menuturkan bahwa pada 1973, lahan tersebut dikuasai oleh sebuah perusahaan dan sertifikat HGB diterbitkan.
“Namun, pada 1999, Pabrik Pakis tutup, sehingga tanah menjadi telantar,” ungkapnya.
Sejak tahun 2000, warga kembali menggarap lahan tersebut hingga 2020. Namun, pada 2021, izin HGB diperpanjang hingga 27 September 2024.
“Tanah yang sudah lama digarap warga kemudian dirusak oleh PT LPI, meskipun masa berlaku HGB hampir habis. Kami menanam pisang di sana, tetapi dirusak oleh pihak perusahaan,” ujarnya.
Menanggapi sengketa ini, perwakilan PT LPI, Teguh Hindrawan, menyatakan bahwa perusahaannya mulai beroperasi di Pati pada tahun 2000 setelah mengakuisisi lahan dan pabrik yang saat itu tidak beroperasi.
“Kami masuk ke sini dengan proses yang sesuai dan telah mengikuti perizinan yang berlaku,” kata Teguh saat hadir di gedung DPRD Pati, Senin (20/1/2025).
Ia menegaskan bahwa kehadiran perusahaan justru membantu perekonomian Pati dengan menghidupkan kembali pabrik gula yang sempat berhenti beroperasi.
“Kami berhasil mengaktifkan kembali pabrik gula sejak 2010,” ungkapnya.
Teguh menjelaskan bahwa pihaknya membeli tanah seluas 7,3 hektare yang saat itu telah dikuasai oleh masyarakat, meskipun secara kepemilikan resmi merupakan bagian dari pabrik gula.
“Sebagian besar tanah dikuasai oleh masyarakat, tetapi secara legal tanah ini milik pabrik gula yang kami beli sesuai aturan,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa pada 2016-2019, Bupati Pati saat itu sempat melakukan mediasi, yang menghasilkan keputusan untuk mendaftarkan 77 penggarap tanah.
“Pada 2019, sebagian besar penggarap akhirnya menyerahkan tanah tersebut kepada perusahaan secara sukarela,” tambahnya.
Teguh membenarkan bahwa tanah tersebut memiliki lima sertifikat HGB. Namun, karena dikuasai oleh masyarakat, perusahaan mengalami kendala dalam pemanfaatannya sesuai izin yang diberikan.
“Saat ini, kami sedang mengurus perpanjangan izin HGB tanah ini kepada BPN Pati dan berharap dapat kembali mengelolanya,” ujarnya.
Kasus ini masih bergulir, sementara warga tetap bertahan di depan kantor ATR/BPN Pati menunggu kejelasan atas tuntutan mereka.