
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto usai melakukan pantauan udara karhutla Gunung Arjuno, Kabupaten Pasuruan, Jumat (08/09). (Foto: Dok BNPB)
PASURUAN, KanalMuria – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, melakukan peninjauan udara memantau operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Gunung Arjuno, Pasuruan, Jawa Timur, Jumat (08/09).
Peninjauan itu dilakukan menggunakan helikopter bernomor lambung PK-DAP dari lapangan sepak bola Kaliandra yang berada tak jauh dari posko penanganan darurat karhutla di Kecamatan Prigen, Pasuruan.
Dalam penerbangan dengan ketinggian 6.400 kaki selama kurang lebih 30 menit itu, Kepala BNPB yang juga didampingi Anggota DPR RI Anisah Syakur dan Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf dibawa pilot berkeliling memutari sisi timur lereng Gunung Arjuno dari Prigen hingga kawasan Kota Batu. Dari peninjauan udara itu, Suharyanto dan rombongan melihat sisa-sisa karhutla yang telah padam.
Jika diamati langsung dari helikopter, sisa-sisa kebakaran itu berwarna hitam pekat dan dapat dipastikan hampir 99 persen vegetasi berupa pepohonan, semak dan belukar mati. Lokasi kebakaran itu juga tidak berada pada satu titik, melainkan ada di beberapa spot yang berbeda-beda. Di lokasi lain, kepulan asap juga masih terlihat di beberapa titik yang diduga merupakan hot spot baru.
Adapun lokasi yang sebelumnya terbakar dalam peninjauan itu berada di lereng gunung dengan ketinggian bervariasi antara 6.000 sampai 8.000 kaki, jika diukur menggunakan altimeter atau alat pengukur ketinggian maupun jarak suatu lokasi yang dimiliki oleh sistem navigasi helikopter.
Kebakaran hutan dan lahan di Gunung Arjuno yang terjadi sejak Sabtu (28/08) menjadi perhatian pemerintah pusat. Sebab, titik api dilaporkan meluas mulai dari wilayah administrasi Kabupaten Malang, Pasuruan, Mojokerto hingga Kota Batu dalam kurun waktu sepekan terakhir.
Apabila ditotal, maka luas lahan yang terbakar dari seluruh wilayah telah mencapai kurang lebih 4.796 hektar, yang mana Kabupaten Pasuruan menjadi wilayah terdampak paling luas yakni 2.724,48 hektar.
Sebagai upaya percepatan penanganan darurat karhutla di Gunung Arjuno, Kepala BNPB menegaskan bahwa upaya pengendalian yang paling efektif dilakukan dengan cara pemadaman darat. Oleh sebab itu, pembentukan satuan tugas (Satgas) darat harus dilakukan dengan melibatkan personel dari unsur-unsur forkopimda terkait
“Satgas darat itu yang efektif. Kalau tanpa satgas darat bohong itu kita bisa memadamkan api,” jelas Suharyanto, dilansir dari laman BNPB.
Menurut Suharyanto, pemadaman melalui darat ini memiliki kelebihan yakni tim lebih mampu menjangkau lokasi dan dapat mengetahui secara persis posisi titik api. Di samping itu, upaya pemadaman yang dilakukan oleh satgas darat ini juga dapat lebih fokus dan terpusat sehingga api dapat dipadakan dengan sempurna.
Lebih lanjut, menurut Suharyanto satgas darat ini juga dinilai lebih efisien dibandingkan cara lain seperti water bombing, Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) maupun upaya lainnya.
Menyinggung pemadaman udara termasuk menggunakan operasi water bombing, Suharyanto mengatakan strategi itu menjadi langkah terakhir yang dapat dilakukan dalam pemadaman karhutla di suatu wilayah. Operasi water bombing sejauh ini dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat fixed wings atau bersayap tetap maupun menggunakan tipe bersayap putar seperti helikopter.
Secara teknis, Suharyanto menjelaskan untuk operasi water bombing membutuhkan penampungan sumber air yang besar untuk diangkut menggunakan pesawat menuju titik api, yang mana lokasi sumber air akan lebih sulit ditemukan pada musim kemarau seperti yang sekarang dialami. Oleh sebab itu, pemadaman darat dinilai lebih efektif jika dibanding operasi water bombing.
“Operasi udara itu jalan terakhir. Jadi operasi darat dulu dilakukan. Jangan sampai menunggu api membesar. Kalau api membesar maka sia-sia kita,” jelas Suharyanto.
Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan operasi water bombing ini sangat mahal. Suharyanto mengaku bahwa operasi water bombing membuat negara harus mengeluarkan anggaran senilai kurang lebih Rp 150 juta untuk satu jam penerbangan mengangkut dan menyiramkan air di titik-titik hotspot. “Itu mengangkut air water bombing per satu jam USD 11.500 atau Rp 150 juta,” terang Suharyanto.
Suharyanto juga menjelaskan, hingga saat ini Pemerintah Indonesia harus menyewa helikopter untuk melakukan operasi water bombing. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan lebih terkuras apabila negara memiliki helikopter sendiri, mengingat perawatan dan maintenance sebuah helikopter membutuhkan biaya rutin meski tidak digunakan terbang. Dengan kata lain, karhutla menjadi bencana yang paling mahal dalam operasi penanganannya.
“BNPB itu bekerja sama dengan pihak ketiga. Instansi lain punya tiga helikopter saja berat merawatnya. Megap-megap juga perawatannya (kalau punya helikopter sendiri). Itu bayarnya banyak sekali,” jelas Suharyanto. (ok/eds)