
Proyeksi Krisis Air Dunia, BMKG Dorong Dukungan Politik, Kerjasama Lintas Sektoral, dan Negara (Foto: Dok BMKG)
JAKARTA, KanalMuria – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut krisis air merupakan ancaman serius bagi seluruh negara di dunia.
Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO), yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, BMKG memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di pelbagai negara.
“Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. (Hal ini bisa terjadi) baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika dan negara lainnya sama saja (terdampak),” kata Dwikorita dalam webinar bertajuk ‘Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim’ yang diselenggarakan oleh Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), Senin (16/10).
Data analisis peta global menunjukkan debit rata-rata air sungai pada tahun 2022 yang dikategorikan pada posisi normal hanya 38 persen. Sementara itu banyak debit air sungai yang keluar menuju laut berada pada level di bawah normal atau jauh di bawah normal yang artinya daerah tersebut mengalami kekeringan.
Di sisi lain, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran. Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.
Dwikorita menjelaskan, saat ini Indonesia memang belum terdeteksi mengalami hotspot air. Namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi. Musababnya, jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada tahun 2045-2050, di saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.
Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia. Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.
“Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021,” ujar Dwikorita.
Laju perubahan iklim di dunia bisa menganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara. Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60 persen dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Namun di negara berkembang akan terdampak 7 persen dari bencana menyebabkan kerugian 5-30 persen dari PDB. Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20 persen dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5 persen dari PDB dan di beberapa kasus bisa melebihi 100 persen.
Data tersebut memperlihatkan bagaimana ketidakberdayaan negara berkembang dan negara kecil kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, krisis air, dan pangan.
Oleh karenanya, melalui World Water Forum (WWF) ke-10 yang rencananya akan dilaksanakan di Indonesia pada Mei 2024 mendatang untuk membantu meningkatkan kesetaraan dengan membantu negara miskin tertinggal agar dapat meningkatkan kapasitanya dan tangguh dalam menyikapi perubahan iklim.
Persoalan krisis air dan perubahan iklim tentunya memiliki kompleksitas yang sangat tinggi. Oleh karenanya diperlukan gotong royong untuk menyelesaikan persoalan ini. BMKG sendiri memiliki fungsi dan peran untuk memberikan informasi sedini mungkin agar pihak terkait merancang strategi bagaimana melakukan mitigasi.
BMKG berharap, data dan informasi yang diberikan dampak diartikan tidak hanya dalam sebuah kebijakan namun juga pemahaman bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Perkembangan informasi ini diharapkan menjadi pengetahuan dan menjadi kesadaran dalam bertindak dan akhirnya menjadi local wisdom di masyarakat.
“Ini persoalan kemanusian, keselamatan bumi, bahkan peradaban. Ini menyangkut pelbagai negara, kelompok masyarakat hingga berbagai suku jadi harus kolaborasi,” ujar Dwikorita.
Di WWF, Dwikorita berujar akan hadir tiga elemen kunci dalam menghadapi persoalan air dan perubahan iklim. Yaitu pada proses tematik akan melibatkan para praktisi sains dan ilmuwan yang nantinya akan menghasilkan kesimpulan apa yang harus dilakukan oleh seluruh pihak.
Di sisi lain, dari hasil WWF, Dwikorita berharap ada dukungan politik yang kuat untuk menerjemahkannya dalam sebuah kebijakan hingga proses eksekusi. Jangan sampai hasil WWF hanya berupa tumpukan kertas namun tidak ada tindak lanjut dari pemerintah atau pemangku kepentingan.
“Data kita bekerja menjadi dasar analisis untuk ditafsirkan para politis untuk membuat kebijakan jitu. Kolaborasi pun tidak hanya sekadar level sains, political, dan regional tapi mesin-mesin dan dan data terus bermain seperti itu,” jelasnya.
Dengan adanya WWF ke-10, Dwikorita melihat hal ini adalah peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan leadership bagaimana Indonesia berjuang untuk menyelamatkan rakyatnya dan juga bersama negara lain menyelamatkan dunia dengan berkolaborasi. Indonesia sendiri memiliki kekuatan tidak hanya pada sains tapi juga pada inovasi teknologi dengan kearifan lokal. (ion/soe)