
Kanlmuria.com–Sering kita membaca atau mendengar Undang-undang Dasar 1945 pada saat melaksanakan kegiatan upacara, baik di hari senin pagi, atau hari-hari yang lainnya seperti Hari Guru yang seringkali diperingati pada tanggal 25 November.
Tanggal tersebut merupakan tanggal yang sakral bagi para guru. Guru di sekolah dasar, menengah pertama hingga menengah atas kerap kali saat momentum tersebut mendapatkan ucapan “Selamat Hari Guru”. Dengan ucapan itu guru sangat terenyuh/tersentuh. Kembali lagi, guru bukan profesi yang mudah, beragam persoalan kerap kali ditemui oleh guru. Guru menghadapi beragam karakter anak.
Menongok lagi Undang-undang Dasar 1945 pada alenia ke empat ada sebuah kalimat “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Mencerdaskan bukan hal yang mudah, mencerdaskan membutuhkan waktu, usaha, dan rasa keingintahuan yang tinggi. Menengok jauh ke belakang lagi bahwa proses mencerdaskan tak lupa ada yang namanya pendidikan. Tentu cita-cita pendiri bangsa kita sangat bijaksana pada saat itu.
Anggi Afriansyah dalam buku yang berjudul Imajinasi, Problematika, Kompleksitas Wajah Pendidikan Indonesia (2021) menjelaskan rakyat yang cerdas dihasilkan melalui proses panjang pendidikan berkualitas dan memanusiakan. Peserta didik tidak hanya dilatih untuk kegiatan akademik lebih jauh dari itu bahwa peserta didik harus dilatih sikap dan ketrampilan serta pendidikan hadap masalah, yang akhirnya peserta didik dapat mencari solusi dari sebuah masalah tersebut.
Kalimat menarik dari Nelson Mandela yang termaktub dalam bukunya Anggi Afriansyah “education is the most powerful weapon which you can use to change the world” yang memiliki arti, pendidikan adalah senjata paling efektif untuk merubah wajah bangsa.
Guru Yang Mendidik
Guru seorang pahlawan. Acap kali guru menemui beragam tantangan. Tantangan memecahkan perselisihan antar peserta didik dan pelbagi tantangan lainnya. Guru mengemban tugas yang berat. Guru merupakan orang tua kedua bagi para peserta didik. Dan acap kali guru memiliki problematika persoalan gaji yang rendah. Tentu itu persoalan yang miris bagi seorang guru.
Tugas seorang guru tidak hanya mentransfer pembelajaran akademik yang monoton. Guru ialah digugu dan ditiru. Pembelajaran yang hanya proses mentransfer pelajaran akademik adalah proses yang belum selesai, lebih dari itu guru juga mencontohkan bentuk-bentuk perilaku baik, sopan santun dan tanggung jawab atas yang apa yang dipilih.
Sebenarnya kalau membicarakan pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengelompokkan tiga pusat pendidikan yang sering disebut Trisentra Pendidikan. Pertama, alam keluarga. Peran penting bagi kedua orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Bahwa anak adalah peniru yang ulung. Maka hati-hati saat mendidik anak, perlunya adanya pertimbangan. Tentu orang tua adalah guru yang abadi. Kedua, alam pendidikan (sekolah). Yang sering kita sebut guru. Guru adalah seseorang yang benar-benar ikut terlibat saat proses pendidikan, yang sering disebut orang tua kedua. Ketiga, alam masyarakat. Bagaimana nantinya peserta didik dapat melebur dan mungkin berguru langsung terhadap masyarakat yang lebih kompleks.
Mengutip kalimat dari Bapak Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya Pendidikan I (Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka) beliau mengatakan “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” yang artinya kurang lebih, didepan memberikan contoh, ditengah memberikan semangat dan dibelakang memberikan dorongan. Kalimat yang sangat penting untuk diingat dan dilakukan oleh para guru.
Pendidikan Konstektual
Ragam pendidikan, tidak hanya berkutat pada pendidikan formal saja. Banyak pendidikan non formal yang kerap kali menjadi garda terdepan. Bisa diambil contoh salah satunya yaitu sekolah pagesangan yang berlokasi di Dusun Wintaos, Desa Girimulya, Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Sekolah pagesangan diinisiasi oleh Diah Widuretno, sekolah tersebut berpusat pada pertanian dan pangan untuk pemberdayaan masyarakat.
Pendidikan konstektual adalah sebuah pendidikan yang tidak terlepas dari daerah setempat. Artinya peserta didik belajar dan nantinya mencintai daerahnya sehingga dapat melebur dengan masyarakat setempat.
Ada sebuah contoh lagi di dalam buku “Sekolah Itu Candu” ditulis oleh Roem Topatimasang (hlm 55). Pak Roem Topatimasang menceritakan di daerah perkampungan tertua Orang Bajo kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara ada sebuah sekolah yang cara guru menghukumnya cukup unik. Guru tersebut menghukum peserta didiknya tidak menyuruh berdiri di depan lapangan dengan cara hormat kepada bendara, bukan pula menyuruh lari peserta didiknya sehingga kecapean dan unjung-unjungnya kesal sama gurunya.
Guru disana menghukum peserta didik dengan cara melihat letah geografis mata pencaharian orang tua mereka. Di daerah tersebut Pak Roem Topatimasang menceritakan bahwa mata pencaharian sehari-hari menangkap ikan, dan uniknya guru tersebut menghukum dengan cara menyuruh peserta didik menangkap ikan.
Mungkin hal tersebut kelihatan tidak ada manfaatnya. Tetapi di balik itu semua ternyata pendidikan yang dilakukan guru disana sangat atau sudah terbilang konstektual. Pendidikan yang mendekatkan peserta didik dengan pola kehidupan sehari-hari. Dan pendidikan semacam itu yang akan berguna untuk melebur hidup dimasyarakat.
Penulis:Ilham Wiji Pradana, lahir dan berkarya di Pati, Jawa Tengah.