
KemenPPPA Cetak Fasilitator Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Foto: Dok KemenPPPA)
BOGOR, KanalMuria – Praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak yang sangat serius dan memiliki potensi merusak pembangunan manusia di Indonesia. Kendati telah menjadi isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, tantangan pencegahan perkawinan anak masih dihadapi di berbagai tingkatan pemerintahan mulai dari provinsi hingga desa/kelurahan.
Untuk mengatasi hal tersebut, KemenPPPA melakukan upaya penurunan perkawinan anak, salah satunya melalui Panduan Praktis Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah.
“Menurut data BPS tahun 2022, terdapat 29 provinsi yang mengalami penurunan angka perkawinan anak, namun masih ada 19 provinsi yang masih di atas rata-rata nasional yaitu 9,23 persen. Capaian tahun 2022 ternyata menunjukkan penurunan yang signifikan yakni sebesar 8,06 persen,” kata Plt Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, Kamis (12/10).
“Angka tersebut bahkan telah melampaui target RPJMN Tahun 2024 yakni sebesar 8,74 persen. Tercapainya penurunan tersebut merupakan hasil dari kerjasama berbagai pihak yang melibatkan Tim Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak dan mitra pembangunan lainnya,” lanjut Rini.
Rini menyampaikan, untuk mengawal capaian agar tetap atau di bawah 8,06 persen tersebut tentu dengan adanya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2020 dan Panduan Praktis implementasinya perlu terus dilakukan oleh sumber daya fasilitator nasional yang mumpuni.
Proses peningkatan kapasitas melalui traiining of fasilitator di Bogor selama 3 hari yang dimulai dari pemetaam kondisi daerah, identifikasi peluang, tantangan serta tata kelola implementasi strategi nasional pencegahan perkawinan anak.
“Training of Facilitator ini diharapkan dapat meningkatkan upaya pemenuhan hak anak di seluruh Indonesia, dan memberikan dampak penurunan angka perkawinan anak khususnya di 19 provinsi yang masih diatas rata-rata nasional. Jika hal itu bisa diwujudkan maka akan mempercepat terwujudnya Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2024,” ungkap Rini dalam siaran pers KemenPPPA.
Rini menambahkan, dalam mewujudkan sinergi program penurunan angka perkawinan anak di seluruh tingkatan pemerintah, dapat dilakukan melalui lima strategi, diantaranya; optimalisasi kapasitas anak; mewujudkan lingkungan yang mendukung; aksesibilitas layanan; penguatan regulasi dan kelembagaan; serta, penguatan pemangku kepentingan di tingkat nasional dan daerah.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Rohika Kurniadi Sari juga menekankan pentingnya menyebarluaskan Panduan Praktis Pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak di Daerah untuk dapat diimplementasikan ke daerah dan bukan hanya sekedar menjadi konsepsi.
“Tujuan utama dari Training of Facilitator adalah memastikan panduan yang telah disusun dapat dikuasai para fasilitator yang berasal dari berbagai pemangku kepentingan daerah, sehingga nantinya mereka bisa menyampaikan kembali ke rekan-rekannya di daerah, hingga akhirnya masyarakat dapat menerima manfaatnya. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan juga sangat dibutuhkan untuk mensinergikan program Pencegahan Perkawinan Anak tidak hanya di Pemerintah Pusat tapi juga di Pemerintah daerah, maupun Lembaga Masyarakat,” tutur Rohika.
Chief Protection Specialist United Nations International Children’s Emergency Fund (Unicef) Indonesia, Zubedy Koteng Edy Koteng menekankan panduan praktis ini harus bisa digunakan di daerah untuk mengembangkan langkah-langkah konkret dalam menangani masalah perkawinan anak di tingkat lokal.
Pelatihan ToF batch pertama melibatkan Mitra KemenPPPA yakni UNICEF, Inklusi dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2) dan diikuti oleh 15 calon Fasilitator Nasional yang berasal dari berbagai lembaga, termasuk Yayasan Kesehatan Perempuan, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Bappenas, serta sejumlah pihak lainnya. (ok/soe)