
SEPERTI yang kita dengar di berbagai warung kecil dusun. Pemilik warung tak luput menyalakan lagu atau radio yang senantiasa memutarkan lagu dangdut dan berbagai genre lagu lainnya.
Lagu dangdut sangat populer dikalangan pemuda sekaligus orang tua. Lagu dangdut memiliki semacam sentuhan khusus untuk senantiasa dinikmati. Warung di pertigaan yang kerap menjadi sorotan mata saya dan mungkin orang lain juga ialah pemiliki warung tidak memutarkan lagu-lagu dangdut saja, ia memutar sejumlah lagu qosidah yang sering saya dengar ialah Nasida Ria.
Berbagai judul seperti Ibu, kota santri, palestina dan semacamnya. Yang salah satunya lirik berjudul Ibu / Ibu kaulah / Wanita yang mulia / Derajatmu tiga tingkat / Dibanding ayah / Ibu Kaulah wanita yang mulia / Derajatmu tiga tingkat / Dibanding ayah / Kau mengandung, melahirkan / Menyusui, mengasuh dan merawat / Lalu membesarkan / Putra-putrimu Ibu//. Nasida Ria; Ibu.
Di atas sedikit penggalan qodisah Nasida Ria, Ibu. Lagu tersebut sangat dalam pemaknaannya dari mengandung, melahirkan dan membesarkan buah hati. Selanjutnya, di pertigaan terdapat lampu merah, saat lampu merah, kebanyak pemotor yang berhenti di jalan tersebut pasti menoleh ke arah warung. Semua pemotor tersebut semacam di paksa untuk mendengarkannya, suka maupun tidak suka harus di dengarkan.
Bagi saya oke-oke saja untuk mendengarkan Qosidah Nasida Ria, apalagi sampai Qosidah yang berjudul Ibu dan Kota Santri. Butuh penghayatan tersendiri supaya hati tersentuh. Mungkin saya akan mengembalikan pikiran saya pada zaman-zaman dulu, yang sempat tinggal di Lasem dan Nyantri di Ponpes An-Nur (untuk Ngaji Posonan yang kurang lebih dua puluh harinan).
Kembali lagi ke warung dan berbagai lagu genre. Suguhan di berbagai warung dusun sangat bervarian menunya apalagi saat setelah subuh. Makananya serba hangat dari mulai nasi hingga minumannya. Tidak hanya itu, pemiliki warung senantiasa menyalakan radio di saluran 101.0 FM (PAS FM) atau di saluran Harbos Fm.
Bagi penghuni warung tersebut oke-oke saja mendengarkannya entah mereka suka maupun tidak suka. Mereka penghuni warung tetap ceria, tetap cerita sana-sini dan tetap menikmati secangkir teh hangat atau sekedar ngopi.
Kini Penghuni warung yang betah atau langgeng rentang usianya sekitar 40 sampai 50 ke atas, mereka menikmati isian warung dan lagu-lagu dari setelah shalat subuh sampai terbit matahari.
Menikmati hidup dengan cara sederhana, dan tidak perlu berlebih-lebihan dalam menjalankan. Dalam kutipan ceramahnya Gus Baha kurang lebih seperti ini “Orang yang hidupnya menungguh jadi dokter, ilmuan dan lain-lain itu pintar mana dari orang yang menjalankan hidup dengan Ngopi dan berusaha dengan sederhana”.
Berbagai Orang Di Dalam Warung
Warung kerap kali di cari bagi kalangan orang tua untuk sekedar mencari sarapan, meminum teh hangat atau sekedar ngopi dan rokok-an. Keberadaan warung di desa sangat berpengaruh, Desa menjadi ramai dan aman dari berbagai persolan pencurian.
Warung juga bisa digunakan untuk sesekali berdiskusi tentang persoalan/problematika, dari mulai persoalan pertanian, peternakan hingga kepala desa yang kurang bagus dalam membina desa. Jangan salah penghuni warung bukan orang-orang yang malas atau kerjaannya hanya berbicara saja tanpa bukti atau omong kosong. Mereka ke warung dalam rangka mengisi waktu luang. Mereka juga bekerja keras, di desa mereka sebagian besar berprofesi sebagai petani atau peternak hewan sapi, kambing ataupun ayam.
Warung bagi mereka hanya sekedar tempat menghibur diri dari rasa kejenuhan. Bertemu teman, membicarakan sebuah persoalan. Perlu diketahui berbicara dengan teman salah satu bentuk terapi untuk menghilangkan ke-stresan yang terkandung dalam rumitnya isi pikiran. Bapak Fahruddin Faiz, pernah mengatakan “jika dirasa pikiran kita sumpek maka keluarlah dari rumah, cari kesibukan atau cari teman bercerita”.
Tanpa warung desa akan sepi tidak ada tempat untuk semacam mengolah kegelisahan. Tidak ada tempat berkumpulnya orang-orang tua kecuali pada saat ada kegiatan RT-nan. Maka gembiralah dengan tempat yang bernama Warung dusun dan sejumlah lagu yang senantiasa menemani.
Beralih dari warung dusun ke angkruk bambu.
Orang-orang di warung kerap kali membicarakan persolanan yang khususnya pertanian. Pertanian yang tidak stabil dan acap kali perlu dipertanyakan. Yang perlu dipertanyakan selama ini ialah “Bagaimana mengajak anak muda untuk bertani?”. Saya mendengarkan langsung pertanyaan tersebut di Angkruk bambu sawah. Pertanyaan tersebut merupakan sepucuk kegelisahan yang harus dijawab tuntas. Pertanyaan tersebut terlontar tiba-tiba, mungkin karena mereka melihat anak muda desa yang jauh belum tertarik ke dunia pertanian.
Menjadi petani bukanlah hal yang mudah. Petani penuh dengan atribut keresahan. Mulai dari keresahan harga pupuk yang melejit, keresahan lahan yang tidak sesubur dahulu, hingga harga padi turun. Semua hal tersebut perlu dipecahkan satu persatu.
Ada sebuah buku yang menarik yaitu Melihat Desa dari Dekat digarap dengan telaten oleh Nurhady Sirimorok pada halaman 104, Ia menjelaskan remaja muda desa itu kian menganggap hidup di desa dan bekerja sebagai petani adalah hidup yang tidak menjajikan.
Membaca kalimat tersebut kita menganggap ‘memang betul bahwa bertani belum bisa menjajikan’. Titik tegasnya pada kalimat ‘belum bisa’ bukan ‘tidak bisa’. Artinya kalau ‘belum bisa’ kemungkinan suatu saat akan terwujud hal yang lain. Bisa jadi menjadi petani adalah pekerjaan yang menjajikan, karena usaha yang tetap dicari orang (konsumen) ialah pertanian.
Mengambil lagi pada bukunya Nurhady Sirimorok ada sebuah penjelasan cara mengajak anak muda menjadi petani. Pertama, tunjukkan kepada mereka prospek cerah sektor pertanian. Kedua, hadirkanlah kondisi lebih pasti. Ketiga, bekali mereka dengan ketrampilan dan pengetahuan (halaman 124-128). Ketiga pernyataan tersebut harus ditunjukkan bahwa pertanian adalah pekerjaan yang menjajikan.
Perlu diingat lagi desa harus rajin-rajin mengadakan diskusi persoalan pertanian yang melibatkan anak muda dan senantiasa belajar bersama mencari kebenaran. Pertanian tidak luput bagaimana mengolah lahan supaya tetap subuh. Pertanian tidak hanya tanam dan menanam.Perhatikanlah lahan mari bertani.
Penulis: Ilham Wiji Pradana. Lahir dan berkarya di Pati.