
Kanalmuria.com – Sebagai bangsa Indonesia, kita pasti pernah belajar tentang pahlawan nasional. Entah itu dari sekolah, buku, obrolan orang-orang atau dari manapun, ada begitu banyak pahlawan nasional. Dan wajar apabila ada satu atau mungkin lebih pahlawan nasional yang berasal dari tempat asal kita, pastilah kita akan merasa bangga.
Mengutip data Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan, dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kementerian Sosial (Kemensos) per tahun 2022, Indonesia memiliki 200 pahlawan dengan 185 diantaranya merupakan laki-laki dan 15 perempuan. Dan Jawa Tengah menjadi provinsi yang memiliki pahlawan nasional terbanyak yakni 32 orang. Dari ke-32 orang tersebut, ada satu pahlawan nasional yang berasal dari Pati tetapi orang Pati sendiri justru tidak banyak yang tahu tentang hal ini.
Dr. Moewardi, Keturunan Ningrat Yang Membumi
Dokter Moewardi lahir pada hari Rebo Paing tanggal 30 Januari 1907 jam 10.15 malam 15 Besar tahun Jawa 1836. Lahir di Desa Randukuning, Kelurahan Pati Lor, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Terlahir sebagai putera ke-7 dari 13 bersaudara dari pasangan Mas Sastrowardojo dan Roepeni. Menurut silsilah, ayah Moewardi masih keturunan langsung dari Raden Sunan Landoh (Syeh Jangkung) sedangkan Ibunya masih keturunan dari Ario Damar (Bupati Palembang).
Mas Sastrowardojo adalah seorang mantri guru, sebuah kedudukan yang sangat berwibawa dan bergengsi pada zaman itu. Ia mengajar di Sekolah Dasar Bumi Putera di Desa Jakenan, Pati (letaknya di sebelah timur kantor Kecamatan Jakenan. Hingga kini bangunannya masih asli dari kayu dan menjadi cagar budaya, kini menjadi SDN Jakenan. Jaman dulu jadi satu-satunya sekolah yang memiliki jenjang hingga kelas 6). Dan karena besarnya wibawa dari nama kedua orang tuanya Moewardi kecil sering dijuluki dengan anak Guru dari Jakenan.
Sejak kecil Moewardi memang sudah pintar, karena itu ia dipindahkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Kudus yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Sebagai seorang pendidik, Sastrowardojo ingin agar putra-putrinya menjadi orang yang lebih pandai dan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada dirinya. Tetapi karena rasa sayangnya, Sastrowardojo tidak ingin jika anaknya sekolah terlalu jauh dari rumah sehingga ia memindahkan Moewardi ke Europesche Lagere School (ELS) di Pati.
Meski terlahir dari golongan ningrat, Moewardi dan saudara-saudaranya dibiasakan untuk tidak sombong. Banyak keuntungan dan fasilitas yang bisa dinikmati Moewardi bersaudara yang tidak bisa dinikmati sebagian masyarakat Indonesia kala itu. Salah satunya adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Meski demikian, berbeda dari kawan sebayanya yang kebanyakan masuk ke STOVIA, Moewardi mampu meraih beasiswa karena prestasinya yang telah dibangun sejak sekolah dasar.
Si Anak Pandu Yang Aktif Berkegiatan Sejak Kecil
Dengan segala keberuntungan yang dia terima dalam bidang pendidikan, tidak membuat Moewardi kecil sombong di hadapan kawan-kawannya. Bahkan, meskipun ia menyandang status ningrat. Hal ini terlihat dari aktivitasnya yang aktif di bidang kepanduan yang telah dirintis sejak di jenjang kelas lima ELS di Kota Pati. Di kelas lima tersebut, dirinya memulai sebagai anggota kepanduan Spoorzoeker (pencari jejak).
Di tengah kesibukannya belajar, pada tanggal 13 September 1930, atas prakarsa seorang Moewardi lahirlah kepanduan baru di Jakarta. Sebagai penjelmaan dari bersatunya tiga organisasi kepanduan di Indonesia yaitu Pandu Kebangsaan, Pandu Pemuda Sumatra dan Indonesische Nationaal Padvinders Organisatie. Organisasi kepanduan yang menjadi cikal bakal Pramuka itu bernama: Kepanduan Bangsa Indonesia.
Dari sekian kisah kepanduan yang dialami oleh Moewardi ada hal pelik yang harus dialaminya. Yaitu ketika saat akan diangkat sebagai Troep Leider, Moewardi memilih untuk menolak dan keluar. Saat itu Moewardi masih menjadi anggota aktif dari Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) dan mencapai jenjang Assistant Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh anak-anak bumiputera. Meskipun di organisasi kepanduan Belanda dia gagal, namun karir kepanduannya di nasional atau pemuda Hindia Belanda terus berlanjut. Hingga mencapai tingkat Jong Java Padvinderij yang kemudian berubah menjadi Pandu Kebangsaan (PK) dan berubah kembali menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Tidak hanya sekedar duduk menjadi anggota pada ketiga organisasi tersebut, Moewardi selalu dipercaya sebagai Komisaris Besar ataupun pemimpin tertinggi. Menurut Wakil Ketua Kwartir Nasional Bidang Kehumasan dan Informatika, Berthold D H Sinaulan, bahwa jabatan yang diemban Moewardi sudah setara dengan ketua kwartir nasional pada saat ini. Maka tidak heran kiprahnya sebagai anggota pandu membuatnya diajukan untuk menjadi Bapak Pandu Indonesia, mendampingi Sri Sultan Hamangkubuwono IX yang menjadi Bapak Pramuka Indonesia.
Dokter “Gembel”
Karena kepintarannya, Moewardi mampu melanjutkan belajar hingga STOVIA (School Tot Opleiding Voor Inlandshe Aartsen), sebuah sekolah kedokteran yang kini berubah menjadi Universitas Indonesia. Aktivitas Moewardi yang beraneka ragam membuatnya harus menempuh masa studi sekitar 12 tahun, dan baru bisa mendapat ijazah dokternya dan lulus 1 Desember 1933. Walaupun terlahir sebagai anak ningrat, disiplin, kedermawanan serta kesederhanaan tetap melekat pada sosok Moewardi. Hal ini terlihat ketika tanggal 2 Desember 1934, setahun pasca lulus dari STOVIA, dirinya menggelar tasyakuran “kenduri modern”. Tidak hanya sekedar berbagi makanan namun juga berbagi jasa dengan membuka praktek pengobatan gratis dari pukul 06.00 hingga 24.00.
Dilansir dari website Universitas Indonesia (ui.ac.id), pendidikan kedokteran Moerwadi tidak hanya berhenti pada STOVIA saja, namun terus berlanjut hingga melanjutkan sekolah ke Geneeskundig Hooge School (GHS) Salemba. Lulus pada tahun 1939 untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts. Di GHS tersebut, Moewardi mengambil gelar dokter spesialis THK (Telinga, Hidung, Kerongkongan). Kedermawanannya sebagai dokter terbukti dengan julukan yang melekat pada dirinya yaitu ‘dokter gembel’. Ternyata julukan itu bukan karena rupa Moewardi yang bak gembel, tapi karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput yang masih minim akses terhadap kesehatan. Selain itu, dia tidak mau menetapkan tarif sepeser pun.
Dokter Pejuang Dari Pati Yang Membantu Proklamasi
Kiprah Moewardi tidak berhenti di kedokteran dan kepanduan saja, ia juga aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia. Saat pendudukan Jepang, ia pernah menjadi Syuurenotaicho (Komandan Barisan Pelopor Karesidenan, menggantikan Soekarno yang akan menjadi presiden). Ini adalah jabatan yang bertugas memimpin Barisan Pelopor Kota Istimewa Jakarta atau Jakarta Tokubetsu Shi. Barisan Pelopor (kemudian berubah menjadi Barisan Banteng dan pada awal 1946 dipindah ke Solo) sebenarnya bentukan Jepang, namun oleh para pemuda digunakan sebagai gerakan memerdekakan Indonesia.
Moewardi sempat menjadi buronan tentara Jepang karena perlawanan yang dilakukan. Bersama para pemuda lainnya, Moewardi pun tak ingin ketinggalan untuk berjuang dalam meraih kemerdekaan, bahkan dirinya rela melepas profesi dokter untuk fokus ke dalam perjuangan. Bersamanya ada Latif Hendraningrat, salah seorang pemimpin PETA, yang ikut mengawal proses proklamasi dari penulisan naskah hingga menuju pembacaan. Selain itu, setelah pembacaan teks proklamasi, Moewardi juga membentuk Barisan Pelopor Istimewa untuk mengawal Presiden Soekarno.
Dikutip dari Majalah Veteran, sempat terjadi perdebatan antara Moewardi dengan Soekarno dalam proses pembacaan teks proklamasi. Moewardi yang tidak sabaran sempat mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Dengan nada marah Bung Karno menjawab, “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada. Kalau Mas Moewardi tidak mau tunggu, silakan baca Proklamasi sendiri!”.
Sebetulnya Moewardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah diserbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Setelah teks proklamasi dibacakan, Moewardi jadi pria terpilih untuk memberi sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.
Diculik Dan Hilang Setelah Melakukan Operasi Di Rumah Sakit Jebres, Solo
Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948 dalam usaha melawan aksi anti pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, Moewardi memilih untuk menetap di Solo dan kembali menjalani profesinya sebagai dokter.
Hingga tiba pada 13 September 1948, Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Mengutip buku ‘PKI Bergerak’ karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis.
Bukannya menuruti perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata, “Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi.” Menggunakan andong ia pergi ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah.
Tak lama setelah operasi selesai, pada pukul 11.00 terdengar letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit juga habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Sebab para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi terhadap pasiennya sebelum dibawa entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan habis dibunuh, termasuk diantarnya Moewardi. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun saat itu, Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius.
Moewardi wafat pada usia 41 tahun. Hingga kini keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Karena tak tahu di mana keberadaannya, para keluarga hanya bisa melakukan kegiatan tabur bunga di patung Moewardi yang berada di Rumah Sakit Dr. Moewardi, Solo. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga hingga kini, meski tak ada satu pun anak cucu Moewardi yang tinggal di Solo.
Diberi Gelar Pahlawan Nasional
Untuk menghargai jasa dan mengenang sosoknya, secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964. Selain diberi gelar pahlawan, nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang diputuskan melalui surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988. Pergantian nama pun dilakukan bertepatan pada hari pahlawan 10 November 1988, dari semula RSUD Kelas B Provinsi Dati I menjadi RSUD Dr Moewardi Surakarta.
“Siapa yang dapat menghargai dan berterima kasih kepada pihak yang berjasa akan mampu pula berbuat jasa kepada pihak lain, tetapi siapa yang tidak dapat menghargai dan berterima kasih kepada pihak yang berjasa, tidak akan mempunyai cukup kekuatan batin untuk berbuat jasa apapun kepada pihak lain, dan orang yang demikian ini akan menjadi benalu masyarakat, yang kalau sudah dipotong akan dicampakkan, hanya akan menjadi sampah yang tidak berguna”
– Dokter Moewardi –
*dikutip dari berbagai sumber*
(VDP^)