
Pati, 9 Oktober 2025 – Sidang lanjutan perkara dugaan penggelapan atau penipuan dengan terdakwa Anifah kembali digelar di Pengadilan Negeri Pati, Kamis (9/10/2025). Dalam sidang yang beragenda pembacaan tuntutan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Anifah dengan hukuman empat tahun penjara, dan kuasa hukum korban, Teguh Hartono menyambut baik keputusan JPU tersebut, dan berharap Majelis Hakim bisa memberikan putusan sesuai tuntutan dan memberikan restitusi kepada korban.
Di sisi lain, yang menjadi sorotan dalam menanggapi tuntutan itu, kuasa hukum terdakwa, Darsono, tampil tenang namun tajam dalam menyampaikan pandangannya. Ia menilai konstruksi dakwaan yang disusun JPU tidak hanya keliru, tetapi juga menunjukkan inkonsistensi hukum yang berpotensi menimbulkan kesalahan penerapan pasal. “JPU menuduh dengan pasal penipuan, tapi alur pembuktiannya justru seperti kasus penggelapan. Ini bentuk ketidakjelasan dalam membangun konstruksi unsur pidana,” ujar Darsono sesuai sidang.
Darsono menekankan bahwa dalam perkara penipuan, unsur niat jahat atau mens rea harus muncul sebelum perjanjian dibuat. Namun, dalam kasus ini, seluruh kesepakatan antara Anifah dan korban telah dituangkan dalam akta notaris yang sah.
“Jika kesepakatan dibuat secara legal dan sah di depan notaris, maka itu adalah hubungan investasi, bukan tipu muslihat. Setelah perjanjian berjalan, semua pihak tahu hak dan kewajibannya, ada bagi hasil dan atau cicilan, ada jaminan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengkritik dasar pembuktian yang digunakan JPU, terutama terkait bukti nota yang menurutnya tidak memiliki relevansi hukum.
“Nota itu bukan dokumen resmi antara pihak korban dan terdakwa, melainkan catatan yang bahkan tidak tercantum dalam perjanjian notaris. Jadi bagaimana mungkin nota dijadikan dasar untuk menuduh seseorang melakukan penipuan?” ujarnya mempertanyakan.
Dalam penjelasannya lebih dalam, Darsono memberikan perumpamaan yang kuat dan mudah dicerna. Ia memberikan contoh terkait pembiayaan investasi bank.
“Seorang nasabah meminjam uang di bank untuk usaha, tapi uang itu justru digunakan membeli mobil, apakah itu penipuan? Apalagi cicilan dan jaminan tetap berjalan, itu belum dilihat dari sisi jaminan kalau sudah proses AJB,” jelasnya sambil tersenyum.
Ia pun menegaskan, dalam setiap hubungan investasi selalu ada risiko bisnis, dan hal itu tidak serta-merta menjadi tindak pidana ketika hasil tidak sesuai harapan.
“Tidak semua kerugian dalam investasi adalah kejahatan. Kalau logika JPU diterapkan, maka setiap nasabah yang gagal usaha bisa dipidana, dan itu berbahaya bagi kepastian hukum di dunia usaha,” tandasnya.
Menutup keterangannya, Darsono menyampaikan keyakinannya bahwa majelis hakim akan menilai perkara ini secara jernih dan objektif.
“Kami percaya majelis akan melihat bahwa ini murni hubungan bisnis berbasis kepercayaan dan hukum, bukan penipuan seperti yang didakwakan,” tutup Darsono.
Sidang akan kembali dilanjutkan pada Senin, 12 Oktober 2025, dengan agenda pembacaan pembelaan dari pihak terdakwa.
/Red.