
Ikuti Diskusi Panel di Markas PBB, BMKG Sebut Peringatan Dini Tidak Hanya Sirine (Foto: Dok BMKG)
JAKARTA, KanalMuria – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyebut sistem peringatan dini harus ditanamkan dengan cara dan pengetahuan yang mudah dimengerti. Dwikorita yang juga sebagai Permanent Representatif Indonesia untuk Organisasi Meteorologi Dunia juga menekankan, agar sistem peringatan dini relevan atau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, keberhasilan sebuah sistem peringatan dini bencana dapat terwujud, jika “kesenjangan” pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam bertindak meresponse cepat dan tepat terhadap peringatan tersebut semakin kecil.
“Indonesia memiliki banyak sekali ancaman bencana alam, dengan jumlah populasi yang mencapai 275 juta orang, kami (BMKG-red) berupaya membangun sistem peringatan dini yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan mempersempit kesenjangan dalam mendapatkan akses untuk keselamatan mereka,” kata Dwikorita dalam Diskusi Panel dengan tema “Early Warning, Early Action” di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kota New York, Amerika Serikat, Rabu (20/09).
Menurutnya, sistem peringatan dini bukan sebatas penyebaran informasi atau sirine dengan suara yang keras. Namun Dwikorita mengatakan, sebuah sistem peringatan dini yang efektif dan handal harus didukung pemahaman masyarakat akan risiko bencana yang dihadapi serta cara penyelamatan diri secara mandiri, cepat dan tepat.
Selain itu, dia menilai sistem peringatan dini harus dilengkapi dengan sistem deteksi dini berdasarkan monitoring secara sistematis – berkelanjutan dan prediksi akurat terhadap perkembangan fenomena bahaya oleh lembaga yang berwenang, diperkuat dengan sistem komunikasi dan diseminasi informasi peringatan yang juga dituntut secara cepat, tepat dan akurat, serta upaya berkelanjutan untuk menguatkan kapasitas masyarakat dalam merespon peringatan tersebut secara cepat dan tepat.
“Pekerjaan rumah terbesar Indonesia dan banyak negara adalah memastikan masyarakat dan seluruh pihak paham dan mengerti bahaya apa yang mengancam mereka, dan selanjutnya mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk penyelamatan diri, jika sewaktu-waktu terjadi bencana,” ujarnya.
Dwikorita menegaskan, bahwa literasi, edukasi dan advokasi kebencanaan harus diberikan secara berkelanjutan kepada masyarakat dan seluruh pihak terkait. Hal itu ternasuk pimpinan daerah, pemegang kebijakan dan pihak swasta.
Dari sisi komunikasi, lanjutnya, peringatan dini tersebut harus disebarluaskan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang terancam bencana, dengan isi pesan dan instruksi yang jelas serta mudah dipahami untuk segera ditindaklanjuti dengan aksi yang cepat dan tepat.
“Tantangan terkait komunikasi adalah putusnya jaringan komunikasi di daerah bencana, hal ini perlu perhatian khusus, yakni dengan menyediakan saluran komunikasi berbasis satelit. Dengan begitu alur komunikasi tetap berjalan dengan lancar meskipun terjadi kerusakan infrastruktur karena bencana,” tuturnya.
Dwikorita menekankan, perlibatan aktif masyarakat menjadi kunci utama membangun sistem peringatan dini yang handal dan resilien. Pengetahuan teknologi dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat terkait bencana dan multi bencana, tambahnya, dapat semakin memperkuat keberhasilan sistem peringatan dini yang dibangun pemerintah.
Sebagai informasi, Diskusi Panel tersebut merupakan bagian dari Agenda Pertemuan Puncak Iklim – (Climate Summit) yang diselenggarakan secara pararel dengan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (UN General Assembly). Hadir pula dalam Climate Summit tersebut Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sophaheluwakan yang juga mendukung misi BMKG untuk menyiapkan tindak lanjut dari Climate Summit tersebut ke dalam Program Organisasi Meteorologi Dunia untuk Agenda Gender Conference, serta Program World Water Council untuk Agenda 10th World Water Forum, yang akan diselenggarakan di Bali, Indonesia tahun 2024 yang akan datang. (eds/soe)