Home » Konvergensi Pasar Mendongkrak Penjualan Bawang Putih Lokal
Konvergensi Pasar Mendongkrak Penjualan Bawang Putih Lokal

Konvergensi Pasar Mendongkrak Penjualan Bawang Putih Lokal (Foto: Dok Pemkab Tegal)

SLAWI, KanalMuria – Di tengah minimnya serapan hasil panen akibat perubahan kebijakan wajib tanam bagi importir bawang putih, sejumlah petani di Desa Tuwel dan Desa Rembul Kecamatan Bojong tetap menanam bawang putih untuk keperluan pembibitan. Bawang putih yang dihasilkan saat ini memang belum mampu bersaing dengan bawang putih impor untuk keperluan konsumsi.

Pada musim tanam kali ini ada tiga hektar lahan yang ditanami bawang putih oleh petani lokal dengan produktivitas rata-rata 16 ton per hektarnya. Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal Amir Makhmud saat menghadiri panen perdana bawang putih di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kamis (03/08).

Penanaman bibit bawang putih ini merupakan hasil kontrak pengadaan dengan Kementerian Pertanian RI. Sementara program pendampingan budidaya bawang putih dilakukan oleh Pemkab Tegal bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Menurut Amir, hasil panen kali ini cukup baik karena berada di atas rata-rata produksi nasional yang sebesar 10-12 ton per hektar. “Semoga produktivitas panen bibit bawang putih ini bisa ditingkatkan lagi, minimal dipertahankan di kisaran 16 ton per hektar,” ungkapnya, dikutip dari tegalkab.go.id.

Usai panen perdana tahun ini, acara dilanjutkan dengan diskusi kelompok terarah (FGD) bersama petani dan pegiat pertanian di Kafe Mamapi yang tak jauh dari lokasi panen. Sejumlah peserta FGD menyoroti soal produk bawang putih lokal yang kalah bersaing dengan bawang putih impor, baik dari segi harga maupun tampilan luarnya di mana ukuran umbi bawang putih lokal lebih kecil dari umbi bawang putih impor.

Menanggapi akan hal ini, Amir pun berharap Pemerintah bisa segera mengembalikan kebijakan syarat wajib tanam bagi importir bawang putih sebesar lima persen dari kuota sebelum mereka mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).

Kebijakan ini dinilai bisa menambah gairah dan semangat petani Bojong menanam kembali bawang putih lokal yang sempat mengalami masa kejayaannya di tahun 1998.

“Selain perlu diproteksi dari gempuran produk impor, untuk mengangkat harkat bawang putih lokal Pemerintah harus memiliki keberpihakan ke petani, ke riset pertanian, sampai pemasaran produknya,” kata Amir.

Sebelumnya Pemerintah memiliki target swasembada bawang putih tahun 2021. Namun karena pandemi, target tersebut tidak tercapai. Pemerintah bahkan melonggarkan wajib tanam terebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis.

“Petani ini tidak perlu disuruh. Kalau prospeknya menarik, pasarnya jelas, pasti mereka nanam sendiri. Karena prinsip bertani itu mendapat keuntungan. Kalau tidak ya seperti ini, petani lebih tertarik menanam sayuran lain, termasuk bawang merah madura daripada bawang putih,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bappeda dan Litbang Kabupaten Tegal Faried Wajdy mengatakan rendahnya daya saing produk bawang putih lokal di pasaran ini salah satunya dapat diatasi dengan merubah strategi pemasarannya yang tidak dalam bentuk mentah, melainkan produk turunan atau pasca panen.

“Ini bisa jadi alternatif baru untuk mengatasi persoalan bibit bawang putih petani yang menumpuk dan tidak terserap importir,” tandasnya.

Bawang putih lokal dengan keunggulan komparatifnya berupa aroma yang kuat dapat diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi seperti pasta atau serbuk dengan segmen pasar khusus. Sehingga ini perlu didukung program pendampingan penerapan teknologi pangan tepat guna pada kelompok petani ataupun pelaku usaha. (jt/ion)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *