Home » Beralih dari Bertani Tembakau ke Budidaya Ubi Jalar Cilembu, Istanto Diganjar Penghargaan WHO
Beralih dari Bertani Tembakau ke Budidaya Ubi Jalar Cilembu, Istanto Diganjar Penghargaan WHO

Beralih dari Bertani Tembakau ke Budidaya Ubi Jalar Cilembu, Istanto Diganjar Penghargaan WHO (Foto: Dok Pemkab Magelang)

MAGELANG, KanalMuria – Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia (FPMI) Istanto, petang itu terlihat sumeringah. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. Penyebabnya, petani yang tinggal di Dusun Truni Kecamatan Windusari itu baru saja meraih penghargaan dari WHO.

Penyerahan penghargaan disampaikan oleh Lubna Battie (Tim Lead Non Communicable desease and. healtier population unit WHO Indonesia) pada Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2023 yang di selenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, di Jakarta pada Kamis (08/06) lalu.

Ketika ditemui, petani yang pensiunan PNS Pemkab Magelang ini mengatakan penghargaan itu diperoleh karena keberhasilan FPMI mengembangkan budidaya ubi jalar Cilembu di desanya.

Keberhasilan itu dinilai oleh WHO sebagai keberhasilan alih tanam dari tanaman tembakau ke tanaman non tembakau. Perubahan ini dinilai positif karena dapat mengurangi produksi bahan baku industri rokok yang berbahaya bagi kesehatan umat manusia.

Ikhwal penerimaan penghargaan dari WHO itu dibenarkan Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, Retno Rusdjijati. Pihaknya merasa surprise ternyata apa yang dilakukan oleh para petani yang tergabung dalam FPMI mendapat penghargaan dari WHO.

FPMI merupakan Forum Petani bentukan MTCC UNNIMA untuk melakukan diversifikasi tanaman yang lebih menguntungkan sehingga petani beralih dari budidaya tembakau ke tanaman non tembakau.

Lebih jauh Ketua MTCC menjelaskan pendampingan kepada petani di Windusari dilakukan sejak 2018 lalu. “Tidak hanya di Windusari, kami melakukan pendampingan kepada petani di beberapa wilayah yang lain, di Jawa Tengah, Jawa Timur dan NTB,” jelasnya, dikutip dari magelangkab.go.id.

Menurut Istanto penghargaan dari WHO itu bermula dari rasa prihatinnya yang mendalam terhadap budidaya tembakau yang digelutinya. “Menanam tembakau itu tidak menjamin. Spekulatif sekali, Sering gagal tergantung musim. Kalau banyak hujan pasti gagal. Seperti kejadian tahun 2012 dan 2013 kami sama sekali tidak berhasil,” ungkapnya.

Keprihatinan itu mendorongnya untuk mencari alternatif lain. Pilihannya, jatuh pada budidaya ubi jalar Cilembu yang dikenal rasanya sangat manis. “Ketika itu saya minta bibit ke Dinas Pertanian. Setelah dicoba ternyata berhasil,” kenang Istanto.

Beberapa lama melakukan budidaya ubi jalar Cilembu dirasa membawa nilai positif yang dirasakan. Budidayanya mudah dan ekonomis harga jual ketela di pasar lebih stabil dibanding harga tembakau. Dan yang terpenting setahun bisa panen tiga kali.

Karena keberhasilan itu maka budidaya ketela banyak dicontoh petani lain. Menurut Istanto, budi daya ubi jalar kian meluas, setidaknya dapat ditemukan di 12 desa di seluruh Windusari.

Kemudahan budidaya ubijalar yang dilakukan membuat petani meninggalkan tanaman tembakau. “Sudah tidak banyak petani yang menanam tembakau,” jelasnya.

Keberhasilan budidaya oleh FPMI ternyata diikuti dengan keberhasilan pemasaran. Permintaan ubi jalar Windusari menembus pasar yang luas selain Magelang juga menembus di daerah lain di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Ubi jalar Cilembu produk Windusari konon lebih digemari karena lebih enak dibanding dengan ubi jalar produk daerah asalnya. Selain memasarkan produk ketela masih mentah, FPMI juga mengembangkan makan olahan berbahan ketela yang dikenal luas dengan nama grubi.

Istanto mengatakan diversifikasi tanaman yang dikembangkan FPMI tidak hanya dilakukan dengan menanam ubi jalar cilembu tapi juga mengembangkan tanaman kopi dan sayuran yang cocok di tanam di daerah pegunungan. (jt/ok)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *