
Eksistensi Anyaman Bambu Mbah Rebo di Tengah Zaman Modern (Foto: Dok Diskominfo Sragen)
SRAGEN, KanalMuria – Kehadiran peralatan modern tidak serta merta menghilangkan peralatan tradisional. Meski tidak sebanyak dulu, beberapa perajin anyaman bambu di Kabupaten Sragen tetap bertahan di tengah gempuran peralatan modern.
Pohon bambu yang selama ini identik dengan bahan baku pembuatan rumah ataupun bangunan, tapi di tangan kreatif mereka, bambu ‘disulap’ menjadi kerajinan bernilai jual ekonomis dan berdampak baik bagi lingkungan untuk mengurangi sampah plastik.
Tidak banyak warga yang masih bertahan dengan berprofesi sebagai perajin anyaman bambu. Di RT 16, Dukuh Banyurip, Desa Kalikobok, Kecamatan Tanon, Sragen, misalnya terdapat anyaman bambu hasil kerajinan dari Mbah Rebo yang telah menekuni profesinya ini sejak usia muda hingga senja.
Mbah Rebo yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu mengaku saat usianya muda, di lingkungannya banyak yang membuat anyaman bambu. Namun, saat ini sudah mulai sulit dijumpai.
“Membuat kepang ini sejak saya masih muda belum menikah, dapat pengalaman pertama kali dari orang tua, keahlian yang saya punya hanya membuat kepang seperti ini dan berkebun,” ungkapnya, dikutip dari sragenkab.go.id.
Meski di tengah gempuran perabot rumah tangga atau bangunan berbahan berbahan plastik, stainless ataupun lainnya banyak di pasaran, namun Mbah Rebo, masih tetap bertahan menggeluti usahanya ini. Dia tetap survive sebagai perajin sesek dari anyaman bilah bambu.
Proses membuat kerajinan wadah anyaman dari bilah bambu ini, sebenarnya cukup panjang. Mulai dari memilah bambu apus yang sudah tua dan layak ditebang, memotong, membelah hingga menjadi iratan (irisan) tipis. Berikutnya, bilah bambu ini lalu dijemur di bawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Setelah itu baru bambu bisa dianyam.
Sesek yang biasanya dibuat Mbah Rebo, banyak digunakan petani dan masyarakat pedesaan lainnya untuk menjemur padi, bawang merah, kerupuk dan beberapa hasil bumi lainnya.
Untuk membuat satu buah sesek dengan panjang 5 meter dan lebar 2 meter, Mbah Rebo mengaku mampu menyelesaikan selama 1 minggu. “Iya kalau bambu sudah ada buat kepang seperti ini bisa hampir satu minggu, kalau untuk harganya ini Rp 70 ribu,” jelasnya.
Hasil produk kepang ini, biasanya dijual ke pasar Gabugan atau diambil pengepul. Kesulitannya saat membuat kerajinan anyaman bambu ini, yakni pada saat musim hujan karena bambu agak sulit didapat dan juga membuat dirinya harus memanggang bilah bambu di atas tungku api supaya cepat kering dan bisa dianyam.
Mbah Rebo berharap, meski zaman mulai maju dan teknologi semakin berkembang, ia berharap karya dan produk buatannya tetap bisa diminati masyarakat luas.
“Kerajinan menganyam ini merupakan warisan budaya leluhur dan semoga ke depan anyaman bambu bukan lagi sekadar cerita karena masih tetap ada,” harapnya. (jt/ok)