
APSyFI: Impor Pakaian Bekas Ilegal Unrecorded Capai 320 Ribu Ton Senilai Rp32,48 Triliun (Foto: Dok Kemendag)
JAKARTA, KanalMuria – Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mendukung langkah pemerintah untuk menindak tegas para importir pakaian bekas ilegal yang merugikan industri tekstil maupun garmen hingga potensi kerugiannya.
Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan, impor pakaian bekas ilegal yang tak tercatat (unrecorded) mencapai 320 ribu ton senilai Rp32,48 triliun. Sementara potensi kehilangan pendapatan Pemerintah akibat impor pakaian bekas ilegal mencapai Rp19 triliun.
Menurut Redma, APSyFI mencatat, kehilangan potensi serapan 545 ribu tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tidak langsung, total pendapatan karyawan Rp54 triliun per tahun.
Jika diproduksi di dalam negeri, masukan sektor pajak sekitar Rp6 triliun dan BPJS Rp2,7 triliun, serta berimplikasi pada kegiatan ekonomi di sektor energi, perbankan, logistik, industri pendukung dan sektor terkait lainnya.
“Kami merekomendasikan, untuk dilakukan penyelidikan menyeluruh atas izin impor yang sudah diberikan dalam 5 tahun terakhir baik API-U maupun API-P dan transparansi pemberian izin impor untuk setiap perusahaan,” ucapnya, melalui keterangan tertulis.
Selain itu, diharapkan juga dilakukan penyelidikan atas perusahaan yang memfasilitasi impor borongan dan undername yang selalu masuk jalur hijau termasuk kaitannya dengan fasilitas kemudahan jalur hijau yang diberikan oleh Oknum Bea Cukai dan transparansi penentuan jalur hijau/merah.
“Penangkapan importir pakaian bekas dengan cara tracking dari pedagang offline mau pun online,” tuturnya.
Salah satu produsen IKM tekstil sekaligus Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman mengaku, para pedagang pakaian bekas impor ilegal merupakan penjual pakaian lokal. Rendahnya permintaan tekstil ini, karena dibanjiri produk impor bekas ilegal.
Ia mengajak semua pihak, jika IKM bangkit, dampaknya sangat luas bahkan bisa menggerakkan hulu dan membuka banyak lapangan pekerjaan.
“Dulu para pekerja konveksi IKM kami mengerjakan banyak permintaan dari brand-brand lokal ternama seperti Zoya dan Rabbani yang maklon di tempat kami, sekarang sudah tidak ada lagi. Bahkan jelang lebaran order kami masih sepi. Untungnya tahun politik jadi kami masih menerima banyak pesanan kaos kampanye,” katanya.
Nandi menegaskan, jika produksi pakaian dalam negeri harus diadu atau bersaing dengan pakaian bekas impor ilegal dengan nol cost-nya, menjadi sangat tidak adil.
“Kami berharap, pakaian bekas impor ilegal ini segera dituntaskan. Dan kami siap menggantikan produk pakaian bekas tersebut atau mensubstitusikan dengan produk pakaian lokal yang berkualitas dan harga yang terjangkau,” ucap Nandi. (eds/soe)